Di tengah gempuran budaya populer dan konten digital yang mendominasi ruang publik, Festival Topeng Malangan 2025 menjadi oase kebudayaan yang menegaskan kembali pentingnya melestarikan seni tradisi. Digelar pada 21–25 Januari 2025 di Kampung Budaya Polowijen, Kota Malang, festival ini menghadirkan aneka kegiatan mulai dari pentas tari topeng, pameran kerajinan, hingga workshop pembuatan topeng tradisional.
Acara ini sukses menarik minat ribuan pengunjung, terutama dari kalangan muda, dan memperlihatkan bahwa budaya lokal masih relevan dan hidup di era milenial.
Topeng Malangan: Warisan Budaya yang Terus Hidup
Topeng Malangan merupakan seni pertunjukan khas Malang yang memadukan unsur tari, musik gamelan, dan cerita rakyat yang penuh makna filosofis. Biasanya dibawakan oleh penari yang menggunakan topeng kayu ukiran tangan, dengan gaya gerak yang halus namun kuat.
“Topeng ini bukan sekadar aksesoris. Ia punya jiwa dan cerita,” ungkap Mbah Marto, maestro tari topeng berusia 78 tahun yang menjadi bintang festival.
Seni topeng ini dulunya digunakan sebagai media penyampaian ajaran moral, nilai kepahlawanan, serta refleksi kehidupan masyarakat Jawa Timur. Kini, melalui festival, nilai-nilai tersebut diperkenalkan kembali kepada generasi baru.
Menggaet Generasi Milenial Lewat Kolaborasi dan Digitalisasi
Salah satu inovasi menarik dari Festival Topeng Malangan 2025 adalah hadirnya pertunjukan topeng kontemporer. Kolaborasi seniman tradisional dengan komunitas tari modern dan kreator digital menghasilkan pertunjukan unik, seperti: Tari topeng dengan iringan musik EDM remix gamelan, Live painting topeng di layar LED, Instalasi topeng augmented reality yang bisa dilihat melalui smartphone.
Pihak penyelenggara, Komunitas Budaya Polowijen, menyatakan bahwa pendekatan ini penting untuk menjembatani tradisi dan tren kekinian.
“Kami ingin budaya tidak hanya dikenang, tapi dijalani oleh anak muda dengan cara mereka sendiri,” ujar Rina Saptari, koordinator acara.
Peserta berasal dari sekolah, kampus seni, serta komunitas kreatif lokal. Anak-anak dan remaja tampak antusias belajar langsung dari para pengrajin dan penari senior. Workshop ini juga menjadi ajang mentoring lintas generasi, menjalin hubungan emosional antara pelestari lama dan penerus baru.
Produk UMKM dan Pameran Budaya
Lebih dari 50 pelaku UMKM lokal memamerkan produk berbasis budaya topeng, seperti:
- Miniatur topeng hias
- Kaos dengan desain topeng Malangan
- Tote bag, stiker, dan pernak-pernik etnik
- Teh rempah dan makanan khas Malang
Pameran budaya juga menampilkan arsip topeng dari berbagai zaman dan daerah, serta dokumentasi pertunjukan klasik dari era 1970-an yang telah didigitalisasi.
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Timur mendukung festival ini sebagai bagian dari upaya strategis menjaga warisan budaya tak benda. Pemerintah Kota Malang juga ikut terlibat dalam mempromosikan event ini lewat media sosial dan kerja sama dengan komunitas pelajar.
Beberapa kampus seperti Universitas Negeri Malang dan Universitas Brawijaya juga mengirimkan mahasiswa untuk melakukan studi dan pelatihan lapangan sebagai bentuk pengabdian masyarakat berbasis seni dan budaya.
Baca Juga : Pesan Hotman Paris Untuk Paula Verhoeven Yang Baru Cerai Dari Baim Wong
Antusiasme Pengunjung dan Gaung Media Sosial
Hashtag seperti #TopengMalangan2025, #BudayaUntukMilenial, dan #TradisiKeren ramai menghiasi linimasa Instagram dan TikTok. Banyak pengunjung yang mengunggah foto mengenakan topeng, mengikuti workshop, atau menari bersama dalam flashmob topeng modern di akhir acara.
Total lebih dari 12.000 pengunjung tercatat hadir selama festival berlangsung, dengan dominasi usia 17–30 tahun. Ini menjadi sinyal positif bahwa kebudayaan tradisional dapat hidup berdampingan dengan semangat era digital.
Festival Topeng Malangan 2025 adalah bukti nyata bahwa warisan budaya tidak mati, tapi berkembang sesuai zaman. Dengan kolaborasi lintas generasi dan pemanfaatan teknologi, topeng Malangan kini tak hanya menjadi simbol masa lalu, tapi juga bagian dari perjalanan masa depan budaya Indonesia.