
Kritik UU TNI Orba kembali mencuat dari kalangan akademisi. Pakar politik Universitas Katolik Soegijapranata (Unika), Andreas Pandiangan, menilai kebijakan ini berpotensi membangkitkan kembali semangat Orde Baru yang otoriter.
“Menurut saya ini memperjelas arah rezim Prabowo-Gibran menuju kebangkitan kembali Orde Baru,” ujar Andreas kepada detikJateng di Semarang Selatan, Kamis (20/3/2025).
Militer di Ranah Sipil dan Dampaknya bagi Demokrasi
Andreas juga menyayangkan sikap partai politik yang justru menyetujui UU TNI, padahal mereka merupakan produk reformasi. Menurutnya, dukungan tersebut merupakan bentuk pengkhianatan terhadap semangat reformasi.
“Saya sangat menyesalkan partai-partai politik yang justru menyetujui. Ini langkah mundur menuju Orde Baru.”
RUU TNI Dianggap Tidak Transparan dan Penuh Kepentingan
Sebagai dosen Fakultas Hukum dan Komunikasi Unika, Andreas memandang bahwa UU TNI akan membuat arah reformasi birokrasi kehilangan fokus. Hal ini karena UU tersebut membuka peluang prajurit TNI untuk menduduki jabatan sipil di kementerian.
“Dari sisi karier, ASN sudah punya jalur yang jelas. Kenapa harus TNI? Apa kurangnya ASN di kementerian? Saya rasa tidak ada.”
Solusi Hukum atas Kritik UU TNI Orba
Andreas menilai tidak ada alasan yang masuk akal untuk mengesahkan UU ini. Ia menuding adanya keterlibatan kepentingan antara legislatif dan eksekutif.
“Pengesahan ini seperti dipaksakan. Dan yang paling saya sayangkan adalah dukungan dari partai politik, padahal banyak RUU mendesak lainnya.”
DPR dan Pemerintah Dinilai Punya Kepentingan Tersembunyi
Ia juga menyoroti proses legislasi yang tidak transparan dan penuh dengan campur tangan elit politik.
“UU ini jelas hasil dari variasi kepentingan DPR dan pemerintah. Mustahil prosesnya berjalan sendiri.”
Partai Pendukung UU Dinilai Berkhianat pada Reformasi
Andreas menyebut partai-partai yang menyetujui UU TNI sebagai pihak yang paling bersalah, karena telah mengingkari semangat perjuangan mahasiswa pada era reformasi.
“Dulu kita melawan dwifungsi ABRI. Sekarang mereka malah membuka jalan kembali. Sangat disayangkan.”
Proses Pembahasan UU TNI Dinilai Tidak Transparan
Pembahasan UU TNI dianggap tidak terbuka. Menurut Andreas, tindakan pengamanan ketat saat aksi protes mencerminkan ketakutan terhadap publik.
“RUU ini dibahas tertutup. Ketika ada protes, malah dijaga kendaraan tempur. Kenapa takut terhadap suara rakyat?”
Sentralisasi Kekuasaan ala Orde Baru
Ia menilai UU TNI bagian dari skenario besar sentralisasi kekuasaan, termasuk pengendalian sektor strategis seperti ketahanan pangan.
“Ini bagian dari narasi besar sentralisasi. Yang aneh, DPR malah mendukung pembahasan tertutup semacam ini.”
Judicial Review Bisa Jadi Solusi, Tapi…
Meskipun UU TNI sudah disahkan, Andreas menyebut masih ada celah untuk menggagalkannya melalui judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) atau intervensi Presiden.
“Masih bisa melalui judicial review, tapi saya pesimis itu akan efektif. Kita sudah lihat tanda-tandanya sebelum UU disahkan.”
Harapan pada Presiden Prabowo
Andreas berharap Presiden Prabowo bisa mengeluarkan Perppu untuk membatalkan UU ini, sebagaimana ia pernah membatalkan kebijakan PPN 12%.
“Harapan saya, Prabowo berani ambil keputusan berbeda. Keluarin Perppu, seperti waktu membatalkan PPN 12%.”
Harapan terhadap Peran Publik dan Akademisi
Andreas juga menekankan pentingnya peran publik, mahasiswa, serta akademisi untuk terus menyuarakan penolakan terhadap kebijakan yang dianggap merugikan demokrasi. Ia percaya bahwa kekuatan masyarakat sipil masih menjadi benteng terakhir dalam menjaga cita-cita reformasi.
“Publik jangan diam. Ini bukan soal TNI semata, tapi arah demokrasi kita ke depan. Kalau hari ini kita diam, besok bisa jadi seluruh sektor strategis dikuasai tanpa kontrol sipil,” ujarnya.
Efek Jangka Panjang terhadap Demokrasi
Dalam jangka panjang, Andreas memperingatkan bahwa UU TNI dapat menjadi preseden buruk dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Keterlibatan militer dalam ranah sipil bisa menciptakan tumpang tindih kewenangan dan mengganggu profesionalisme baik di tubuh ASN maupun TNI itu sendiri.
“Kita bisa masuk ke masa di mana loyalitas ASN terganggu, profesionalisme TNI terdistorsi, dan pemerintahan sipil makin lemah. Ini bukan sekadar aturan hukum, tapi arah masa depan negara.”
Ajakan Menolak Sentralisasi Kekuasaan
Menutup pernyataannya, Andreas menyerukan agar seluruh komponen bangsa bersatu menolak segala bentuk sentralisasi kekuasaan, termasuk yang dibungkus melalui regulasi seperti UU TNI.
“Ini momentum untuk bersatu. Jangan biarkan regulasi jadi alat menggerus demokrasi. Kita harus waspada dan terus bersuara.”